Pengertian
Camels
Dalam kamus Perbankan (Institut Bankir
Indonesia), edisi kedua tahun 1999: CAMEL adalah aspek yang paling banyak
berpengaruh terhadap kondisi keuangan bank, yang mempengaruhi pula tingkat
kesehatan bank, CAMEL merupakan tolok yang menjadi obyek pemeriksaan bank yang
dilakukan oleh pengawas bank. CAMEL terdiri atas lima criteria yaitu modal,
aktiva, manajemen, pendapatan dan likuiditas.
Berdasarkan kamus Perbankan (Institut Bankir
Indonesia), edisi kedua tahun 1999, peringkat CAMEL dibawah 81memperlihatkan kondisi
keuangan yang lemah yang ditunjukan oleh neraca bank, seperti rasio kredit tak
lancar terhadap total aktiva yang meningkat, apabila hal tersebut tidak diatasi
akan mengganggu kelangsungan usaha bank, bank yang terdaftar pada pengawasan
dianggap sebagai bank bermasalah dan diperiksa lebih sering oleh pengawas bank
jika dibandingkan dengan bank yang tidak bermasalah. Bank dengan peringkat
CAMEL diatas 81 adalah bank dengan pendapatan yang kuat dan aktiva tak lancer
sedikit, peringkat CAMEL tidak pernah diinformasikan secara luas.
Reinkarnasi
Camels
Penyempurnaan penilaian kesehatan bank
dilatarbelakangi oleh Perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko, penerapan
pengawasan secara konsolidasi, serta perubahan pendekatan penilaian kondisi
Bank yang diterapkan secara internasional mempengaruhi pendekatan penilaian
Tingkat Kesehatan Bank. Secara substantif memang ada beberapa perubahan
faktor-faktor penilaian, namun dari sisi prinsip dan proses perhitungan tingkat
kesehatan, PBI nomor 13/1/PBI/2011 tersebut tidak jauh berbeda dengan PBI Nomor
6/10/PBI/2004 . Mari kita lihat sekilas perbandingan antara keduanya.
Pertama, penilaian tetap bersifat
self-assessment oleh masing-masing bank yang dilakukan setiap semester, namun
pihak BI akan melakukan pemeriksaan sebagai langkah validasi atau konfirmasi
terhadap penilaian yang dilakukan oleh pihak bank.
Apabila terdapat perbedaan hasil
penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
hasil self assesment oleh pihak bank maka yang berlaku adalah hasil penilaian
tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hasil
self-assessment tersebut wajib diketahui oleh Direksi dan dilaporkan kepada
Dewan Komisaris dan BI. BI secara eksplisit tidak mewajibkan hasil akhir
penilaian kesehatan bank tersebut dipublikasikan secara detail kepada
masyarakat. Masyarakat hanya bisa melihat posisi keuangan bank secara umum dan
beberapa rasio keuangan saja, misalnya Capital Adequacy Ratio, Efisiensi
Biaya, dan Kualitas Aktiva
Produktif. Jadi jangan harap hasil
penilaian lengkap untuk setiap faktor dan komponen terungkap ke publik.
Kedua, skala atau predikat penilaian
masih sama dengan sebelumnya yaitu “Peringkat 1″ sampai “Peringkat 5″ dimana urutan peringkat
faktor yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik.
Sedangkan hasil akhir penilaiannya disebut
Peringkat Komposit yaitu peringkat akhir hasil penilaian Tingkat Kesehatan
Bank. Misalnya, Peringkat 1 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum sangat
sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan
dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya, sedangkan Peringkat
5 mencerminkan kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak
mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis
dan faktor eksternal lainnya. Pada penilaian sebelumnya berdasarkan PBI Nomor
6/10/PBI/2004, BI telah menyediakan kerangka kerja atau lembar kerja yang
menjelaskan bagaimana menghitung dan menilai setiap indikator. Panduan tersebut
disajikan dalam bentuk matriks. Untuk PBI tahun 2011 ini, panduan dalam acuan
matriks tersebut belum disediakan oleh Bank Indonesia.
Ketiga, versi 2011 hanya pengelompokan
dan pembobotan ulang terhadap faktor atau dimensi penilaian-yang dari segi
cakupan relative tidak banyak berubah. PBI yang baru menggolongkan faktor
penilaian menjadi hanya empat faktor yaitu (1) Profil resiko atau risk profile,
(2) Good Corporate Governance (GCG), (3) Rentabilitas atau Earnings, dan (4)
Permodalan atau Capital. Jadi PBI yang baru ini bisa disingkat- sekedar untuk
memudahkan ingatan saja, menjadi RGEC . Profil resiko mencakup 8 jenis resiko
yaitu (a) risiko kredit, (b) risiko pasar, (c) risiko likuiditas, (d) risiko
operasional, (e) risiko hukum, (f) risiko stratejik, (g) risiko kepatuhan, dan
(h) risiko reputasi. Jadi kayaknya, beberapa indikator pada CAMELS sebelumnya,
ditataulang dan dimasukkan ke faktor baru pada RGEC. Jika dipetakan secara
lengkap, faktor kualitas asset (A), likuiditas (L), dan sensitivitas terhadap
resiko pasar (S) pada pada Sistem CAMELS melebur ke dalam faktor profil resiko
(R) pada Sistem RGEC, sedangkan faktor rentabilitas (E) dan permodalan (C)
tetap ada pada sistem yang baru. Seolah-olah ada faktor baru yaitu Good
Corporate Governance (G) yang menggantikan faktor Manajemen (M) pada sistem
lama. Namun jika dicermati, kepatuhan terhadap penerapan GCG sudah masuk pada
faktor Manajemen (M) pada sistem CAMELS yaitu dimasukkan pada komponen
manajemen umum.
Dua komponen lainnya untuk faktor
Manajemen pada sistem CAMELS- yaitu Penerapan Sistem Manajemen Resiko dan
Kepatuhan Bank, sebagian besar indikatornya diperkirakan masuk ke profil resiko
pada sistem RGEC. Akhirnya tinggal GCG yang tersisa dalam faktor Manajemen.
Jadilah GCG sebagai faktor tersendiri dalam sistem yang baru. Faktor GCG pada
sistem baru pasti akan diperkaya terlebih dahulu oleh BI dengan beberapa model,
prinsip atau praktek yang terbaru sesuai dengan perubahan atau perkembangan
kondisi dan situasi terkini. Sebenarnya BI sudah mengeluarkan PBI Nomor
8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum,
sebagaimana telah diubah menjadi PBI Nomor 8/14/PBI/2006, dengan teknis
pelaksanaannya tercantum pada SE Nomor 9/12/DPNP.
Analisis
Camels
Analisis CAMELS digunakan untuk
menganalisis dan mengevaluasi kinerja keuangan bank umum di Indonesia. CAMELS
merupakan kepanjangan dari Capital (C), Asset Quality (A), Management (M),
Earning (E), Liability atau Liquidity (L), dan Sensitivity to Market Risk (S).
Analisis CAMELS diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 perihal sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 Tentang Sistem Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Penilaian tingkat
kesehatan bank berdasarkan ketentuan Bank Indonesia mencakup penilaian terhadap
faktor-faktor CAMELS yang terdiri dari:
a. Permodalan (Capital)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan
kualitatif faktor permodalan dilakukan melalui penilaian terhadap kecukupan
pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang
berlaku. Melalui rasio ini akan diketahui kemampuan menyanggah aktiva bank
terutama kredit yang disalurkan dengan sejumlah modal bank (Abdullah, 2003:60).
Tabel 1. Matriks Kriteria Peringkat Komponen
Permodalan
Rasio
|
Peringkat
|
CAR
≥ 12%
|
1
|
9%
≤ CAR < 12%
|
2
|
8%
≤ CAR < 9%
|
3
|
6%
< CAR < 8%
|
4
|
CAR
≤ 6%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
b. Kualitas Aset (Asset Quality)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan
kualitatif faktor aset bank dilakukan melalui penilaian terhadap komponen
aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan total aktiva
produktif dan tingkat kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva
produktif (PPAP).
Rasio Kualitas Aktiva Produktif
merupakan rasio yang mengukur kemampuan kualitas aktiva produktif yang dimiliki
bank untuk menutup aktiva produktif yang diklasifikasikan berupa kredit yang
diberikan oleh bank. Rasio ini mengindikasikan bahwa semakin besar rasio ini
menunjukkan semakin menurun kualitas aktiva produktif (Taswan, 2010:167).
Tabel 2 Matriks Kriteria Peringkat
Komponen KAP(1)
Rasio
|
Peringkat
|
KAP1 ≤ 2
|
1
|
2 < KAP1 ≤ 3%
|
2
|
3% < KAP1 ≤ 6%
|
3
|
6 < KAP1 ≤ 9%
|
4
|
KAP1 > 9%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
Rasio pemenuhan PPAP merupakan rasio
yang mengukur kepatuhan bank dalam membentuk PPAP untuk meminimalkan risiko
akibat adanya aktiva produktif yang berpotensi menimbulkan kerugian (Taswan,
2010:167).
Tabel 3 Matriks Kriteria Peringkat
Komponen KAP(2)
Rasio
|
Peringkat
|
KAP ≥ 110%
|
1
|
105% ≤ KAP2 < 110%
|
2
|
100% ≤ KAP2 < 105%
|
3
|
95% ≤ KAP2 < 100%
|
4
|
KAP2 < 95%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
c.
Manajemen (Management)
Penelitian Merkusiwati (2007)
menggambarkan tingkat kesehatan bank dari aspek manajemen dengan rasio Net
Profit Margin (NPM), alasannya karena seluruh kegiatan manajemen suatu bank
yang mencakup manajemen umum, manajemen risiko, dan kepatuhan bank pada akhirnya
akan mempengaruhi dan bermuara pada perolehan laba. Net Profit Margin
dihitung dengan membagi Net Income atau laba bersih dengan Operating
Income atau laba usaha.
Tabel 4 Matriks Kriteria Peringkat
Komponen NPM
Rasio
|
Peringkat
|
NPM ≥ 100%
|
1
|
81% ≤ NPM < 100%
|
2
|
66% ≤ NPM < 81%
|
3
|
51% ≤ NPM < 66%
|
4
|
NPM < 51%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
d. Profitabilitas
(Earnings)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan
kualitatif faktor profitabilitas bank antara lain dilakukan melalui penilaian
terhadap komponen-komponen Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE),
Net Interest Margin (NIM) atau Net Operating Margin (NOM), dan
Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional (BOPO).
ROA digunakan untuk mengukur kemampuan
manajemen bank dalam memperoleh laba secara keseluruhan dari total aktiva yang
dimiliki (Dendawijaya, 2009:118).
Tabel 5 Matriks Kriteria Peringkat Komponen
ROA
Rasio
|
Peringkat
|
ROA > 1,5%
|
1
|
1,25% < ROA ≤ 1,5%
|
2
|
0,5% < ROA ≤ 1,25%
|
3
|
0 < ROA ≤ 0,5%
|
4
|
ROA ≤ 0%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
ROE mengindikasikan kemampuan bank
dalam menghasilkan laba dengan menggunakan ekuitasnya. Kenaikan dalam rasio ini
berarti terjadi kenaikan laba bersih dari bank yang bersangkutan dan
selanjutnya kenaikan tersebut akan menyebabkan kenaikan harga saham bank
(Dendawijaya, 2009:119)
Tabel 6 Matriks Kriteria Peringkat
Komponen ROE
Rasio
|
Peringkat
|
ROE > 15%
|
1
|
12,5% < ROE ≤ 15%
|
2
|
5% < ROE ≤ 12,5%
|
3
|
0 < ROE ≤ 5%
|
4
|
ROE ≤ 0%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
Rasio NIM mengindikasikan kemampuan
bank menghasilkan pendapatan bunga bersih dengan penempatan aktiva produktif
(Taswan, 2009:167). Bank syariah menjalankan kegiatan operasional bank tidak
dengan sistem bunga, maka dalam penilaian rasio NIM pada bank syariah
menggunakan rasio Net Operating Margin (NOM) yang merupakan pendapatan
operasi bersih terhadap rata-rata aktiva produktif.
Tabel 7 Matriks Kriteria Peringkat
Komponen NIM/NOM
Rasio
|
Peringkat
|
NIM > 3%
|
1
|
2% < NIM ≤ 3%
|
2
|
1,5% < NIM ≤ 2%
|
3
|
1% < NIM ≤ 1,5%
|
4
|
NIM ≤ 1%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
BOPO digunakan untuk mengukur tingkat
efisiensi kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya (Dendawijaya,
2009:120). Semakin tingga rasio ini menunjukkan semakin tidak efisien biaya
operasional bank.
Tabel 8. Matriks Kriteria Peringkat
Komponen BOPO
Rasio
|
Peringkat
|
BOPO ≤ 94%
|
1
|
94% < BOPO ≤ 95%
|
2
|
95% < BOPO ≤ 96%
|
3
|
96% < BOPO ≤ 97%
|
4
|
BOPO > 97%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
e. Likuiditas
(Liquidity)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan
kualitatif faktor likuiditas bank dilakukan melalui penilaian terhadap komponen
Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR menunjukkan seberapa jauh kemampuan
bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan
mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya (Dendawijaya,
2009:116).
Tabel 9. Matriks Kriteria Peringkat
Komponen LDR
Rasio
|
Peringkat
|
LDR ≤ 75%
|
1
|
75% < LDR ≤ 85%
|
2
|
85% < LDR ≤ 100%
|
3
|
100% < LDR ≤ 120%
|
4
|
LDR > 120%
|
5
|
(Sumber: SE BI No. 6/23/DPNP tahun 2004)
f.
Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity
to Market Risk)
Penilaian rasio sensitivitas terhadap
risiko pasar didasarkan pada Interest Rate Risk Ratio (IRRR) yang proksi
terhadap risiko pasar. IRRR menunjukkan kemampuan bank dalam mengcover
biaya bunga yang harus dikeluarkan dengan pendapatan bunga yang dihasilkan.
Rasio Camels
Rasio
CAMEL adalah menggambarkan suatu hubungan atau perbandingan antara suatu jumlah
tertentu dengan jumlah yang lain. dengan analisis rasio dapat diperoleh
gambaran baik buruknya keadaan atau posisi keuangan suatu bank. Manfaat Rasio
Keuangan untuk Memprediksi Kebangkrutan Machfoedz (1994) menguji manfaat rasio
keuangan dalam memprediksi laba perusahaan dimasa yang akan datang. Rasio
keuangan yang digunakan adalah cash flows/current liabilities, net worth and
total liabilities/fixed assets, gross profit/sales, operating income/sales, net
income/sales, quick assets/inventory, operating income/total liabilities,net
worth/sales, current liabilities/net worth, dan net worth/total liabilities.
Ditemukan bahwa rasio keuangan yang digunakan dalam model bermanfaat untuk
memprediksi laba satu tahun ke muka, namun tidak bermanfaat untuk memprediksi
lebih dari satu tahun. Penelitian berkaitan dengan prediksi kebangkrutan bank
di Indonesia dilakukan oleh Wilopo (2001). Penyampelan dalam penelitian ini
dilakukan secara cluster yaitu 235 bank pada akhir tahun 1996 dibagi menjadi 16
ban terlikuidasi dan 219 bank yang tidak dilikuidasi, selanjutnya diambil 40%
sebagai sampel estimasi, terdiri atas 7 bank terlikuidasi dan 87 bank yang
tidak dilikuidasi. Kemudian dari 215 bank pada akhir tahun 1997 yang terdiri
atas 38 bank terlikuidasi dan 177 bank pada tahun 1999 yang tidak dilikuidasi,
diambil 40% sebagai sampel validasi yang terdiri atas 16 bank terlikuidasi dan
70 bank yang tidak dilikuidasi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini
untuk memprediksikan kebangkrutan bank adalah rasio keuangan model CAMEL (13
rasio), besaran (size) bank yang diukur dengan log. assets, dan variabel dummy
(kredit lancar dan manajemen).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
secara keseluruhan tingkat prediksi variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian ini tinggi (lebih dari 50% sebagai cutoff value-nya). Tetapi jika
dilihat dari tipe kesalahan yang terjadi tampak bahwa kekuatan prediksi untuk
bank yang dilikuidasi 0% karena dari sampel bank yang dilikuidasi, semuanya
diprediksikan tidak dilikuidasi. Dengan demikian hasil penelitian ini tidak
mendukung hipotesis yang diajukan bahwa “rasio keuangan model CAMEL, besaran
(size) bank serta kepatuhan terhadap Bank Indonesia” dapat digunakan untuk
memprediksikan kegagalan bank di Indonesia. Simpulan ini diambil didasarkan
atas tipe kesalahan yang terjadi, khusus kasus di Indonesia ternyata rasio
CAMEL serta variabel-variabel independen lain yang digunakan dalam penelitian
ini belum dapat memprediksikan kegagalan bank. Dengan demikian perlu eksplorasi
lebih lanjut terhadap variabel lain di luar rasio keuangan agar diperoleh model
yang lebih tepat untuk memprediksikan kegagalan bank.
Sedangkan penelitian yang dilakukan
Swandari (2002) berusaha untuk menganalisa apakah tingginya perilaku risiko
dari pemegang saham, kepemilikan institusi dan kinerja mempengaruhi
kebangkrutan bank. Sampel penelitian ini terdiri dari bank yang dikategorikan
fail dan bank yang sehat yang terdiri atas 25 bank yang dikategorikan fail dan
35 bank yang sehat atau survive. Dalam penelitian ini variabel kinerja
diproksikan dengan NITA (laba bersih / total aktiva) dan FUTL (laba operasi /
total kewajiban), selain itu dalam penelitian ini juga memasukkan variabel
kontrol yaitu size perusahaan dan jumlah modal. Diprediksikan bahwa perilaku
risiko berpengaruh positif terhadap kebangkrutan bank, sedangkan porsi
kepemilikan institusi dan kinerja berpengaruh negative terhadap kebangkrutan
bank. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Variabel
perilaku resiko memiliki tanda sesuai dengan prediksi namun secara statistic
tidak signifikan atau dapat dikatakan hipotesis yang dinyatakan dalam
penelitian ini ditolak. Hasil ini sejalan dengan teori agency cost of debt yang
menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi akan menyebabkan
manajer atau pemilik bank berperilaku lebih beresiko atas beban debtholder atau
para deposan. Dengan kata lain, pemilik akan berupaya meningkatkan nilai opsi
call dari saham yang mereka miliki.
2. Variabel
proksi kepemilikan institusi juga memiliki tanda sesuai prediksi namun secara
statistik tidak signifikan atau dapat dikatakan hipotesis yang dinyatakan dalam
penelitian ini ditolak..
3. Dua
variabel kinerja yang digunakan yaitu NITA dan FUTL, keduanya memberikan
dukungan terhadap hipotesis yang dinyatakan dalam penelitian ini. Penelitian
yang dilakukan oleh Haryati (2002) berusaha untuk menganalisa:
Apakah terdapat
perbedaan bermakna kinerja keuangan yang diukur dari rasio cadangan penghapusan
kredit terhadap kredit, ROA, efisiensi dan LDR antar bank kelompok kategori A,
B dan C, dan (2) apakah rasio keuangan tersebut mempunyai pengaruh yang
bermakna terhadap kemungkinan kebangkrutan bank-bank kategori A, B dan C. Hasil
dari penelitian ini adalah empat rasio keuangan yang digunakan ternyata rasio
ROA, Efisiensi dan LDR mempunyai perbedaan yang signifikan di antara bank-bank
dalam kategori A, B dan C. Adapun rasio Cadangan Penghapusan Kredit terhadap
Kredit tidak mempunyai perbedaan bermakna mengingat pengukuran rasio ini untuk
menilai kualitas asset dari bank kurang tepat (tidak sesuai dengan pengukuran
sebagaimana telah ditentukan oleh Bank Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar